Rumah Dara (2010)

Dara: “Enak, kaaaaaannnnnnn?!?!”

Ketika mendengar film horor buatan Indonesia, apa yang langsung terlintas di pikiran Anda? Film yang isinya hanya muatan pembodohan? Setan-setan yang menampakkan diri dengan bedak berlebihan yang bermaksud untuk menakut-nakuti tapi malah tidak menakutkan? Bumbu seks dan komedi yang tidak bermutu dan sama sekali tidak lucu? Atau mungkin yang saat ini sedang tren dimana jajaran pemain diramaikan oleh bintang-bintang porno luar negeri? Untungnya, semua itu tidak ditemui dalam film garapan duo Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto yang lebih dikenal dengan sebutan Mo Brothers ini.

Film yang secara internasional diberi judul Macabre dan Darah ketika rilis di Singapura ini merupakan versi panjang dari segmen film pendek Dara yang asalnya tergabung dalam anthology horor Indonesia, Takut: Faces of Fear (2008). Untuk ukuran sebuah sub-genre horor yang biasanya dipandang sebelah mata, Rumah Dara faktanya mampu meraih prestasi yang cukup membanggakan di berbagai festival film internasional. Ya, di negara kita keberadaan slasher memang masih jarang dijumpai dan jumlahnya terhitung dengan jari. Meski beberapa sineas lokal sempat mencoba untuk membangkitkan sub-genre ini, namun bila disinggung dari segi mutu dan kualitas masih sangat jauh dari kata memuaskan. Parahnya, untuk tontonan horor saat ini kita hanya disuguhi oleh segudang horor berbau mistik campuran komedi dan seks yang membaca dari judulnya saja membuat kita muak.

Dalam hal cerita, jelas dua sahabat yang awalnya saling bertemu di Sydney, Australia pada tahun 2002 silam ini tidak mau terlalu berbelit-belit apalagi berusaha untuk terlihat berat dan sok ‘pintar’. Sederhana saja, tipikal slasher, dimana ada korban dan ada umpan. Simpel dan klise. Bahkan apa yang disajikan di sini seperti mengekor jalur yang pernah dilewati oleh The Texas Chainsaw Massacre dengan gabungan elemen-elemen slasher lain yang terasa sudah tidak asing lagi sehingga menghasilkan sebuah homage yang diwarnai dengan elemen lokal yang kental. Dan tentunya yang menjadi jualan utama di sini adalah adegan-adegan pembantaian dengan galonan darah segar.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah film yang menuai begitu banyak pujian dari berbagai kalangan dan para kritikus lokal maupun mancanegara ini sesuai dengan ekspektasi saya? Dengan sangat berat hati saya harus mengatakan, tidak. Sejujurnya, saya memang tidak mengikuti hype ketika film ini tengah ramai dibicarakan tahun lalu, dan baru sempat menyaksikannya melalui media DVD baru-baru ini. Entah apakah mungkin dikarenakan faktor tersebut, atau memang Rumah Dara yang gagal mengemban tugasnya dalam menghadirkan rasa takut dan intensitas ketegangan yang seharusnya mampu tampil menonjol. Harus diakui, pengharapan saya terhadap film ini cukup tinggi mengingat minimnya horor produksi tanah air yang berkualitas.

Padahal dalam mengemasnya, duo sineas yang mengaku mengagumi horor klasik seperti Psycho dan The Texas Chainsaw Massacre ini banyak menyelipkan adegan-adegan sadis khas slasher yang memperlihatkan betapa ganasnya keluarga kanibal tersebut dalam melakukan pembantaian terhadap korbannya. Tak hanya itu, Mo Brothers juga memanfaatkan efek musik dengan suntikan score yang mencekam, disertai pemilihan soundtrack berjudul Cinta Matiku bernuansa keroncong. Kehadiran theme song tersebut terbukti ampuh menambah keangkeran suasana. Dari segi teknis, sangat terlihat penggarapannya begitu serius dari sinematografi yang terkesan ‘sangat Hollywood’, sampai bagaimana trik-trik adegan pembantaian yang membuatnya terlihat begitu nyata. Akan tetapi cukup disayangkan, di mana kesan ‘sangat Hollywood’ juga menjadi bumerang. Tanpa memberikan sesuatu yang baru, Rumah Dara tak ubahnya seperti sebuah ripoff yang bedanya hanya para pemain dan krunya diganti oleh lokal. Pada akhirnya hanya meninggalkan kesan biasa-biasa saja dan terkesan miskin dari apa yang disebut orisinalitas, meski untuk adegan gore-nya masih terbilang cukup menghibur.

Berbicara mengenai Rumah Dara, pastinya tak lepas dari sosok Dara yang diperankan oleh Shareefa Daanish. Begitu banyak pujian diberikan kepada model kelahiran London, Inggris ini sehingga anugerah Best Actress di Puchon International Fantastic Film Festival 2009 yang diselenggarakan di Bucheon, Korea Selatan pun mampir berkat aktingnya yang brilian. Tapi, kata brilian kok terkesan ironi? Yang ada hanyalah akting yang kaku bak robot, suara berat monoton yang terlalu dibuat-buat dan cukup mengganggu, sampai ekspresi yang bermaksud tampil menakutkan tapi malah terkesan lucu. Pada salah satu adegan pun terlihat bagaimana peluru-peluru yang dimuntahkan kepada ibu Dara tak satu pun yang menyentuhnya. Padahal jarak si penembak tidak begitu jauh. Apakah memang sosok ibu Dara ini menggunakan jimat atau semacamnya?

Begitu juga dengan Arifin Putra yang konon demi mendalami peran Adam di sini, ia rela membawa senjata tajam kemana-mana agar dapat merasakan sensasinya sendiri. Namun di balik tatapannya yang berusaha dingin dan kejam, aura ‘wajah manis sinetron’ masih tersirat sangat kental sehingga kesan pemaksaan kelewat kentara. Menjelang akhir film, Rumah Dara seolah mencoba bertransformasi menjadi sedikit lebih ringan dengan menyisipkan unsur komedi yang dibawa oleh sosok Aming. Sayangnya, hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa.

Entahlah, review ini tidak berusaha agar terlihat sok beda sendiri dari sekian banyaknya sanjungan dan pujian yang membanjiri film ini. Hanya saja, saya tidak bisa membohongi diri sendiri. Kemunculan Rumah Dara memang layaknya gol di momen yang tepat di antara serbuan horor-horor lokal yang dari segi mutu dan kualitas sudah tidak layak diberi komentar lagi. Namun sayangnya terkesan overrated. Tapi Rumah Dara memang tidak sepenuhnya buruk. Setidaknya, terlepas dari segala tetek bengek tersebut, bangsa ini masih boleh bangga dengan produk sendiri. Tentu saja yang memiliki kualitas internasional. Apresiasi positif juga patut diberikan kepada Mo Brothers yang berani untuk menghadirkan sesuatu yang beda.

Movie Rating: 

Posted on 15/06/2011, in Movies and tagged , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment