WRECK-IT RALPH (2012)

Director(s): Rich Moore Cast: John C. Reilly, Sarah Silverman, Jack McBrayer, Jane Lynch, Alan Tudyk Runtime: 101 minutes Star: 

Generasi gamer old school yang tumbuh menikmati kejayaan era retro sudah sepantasnya bersyukur dan merasa beruntung, sebab selain pernah menjadi bagian dari masa-masa penuh kenangan tersebut, bisa dibilang kali ini mendapat perlakuan istimewa dari Disney. Ya, tak ada yang bisa menyaingi sensasi bermain game arcade klasik yang dulu lebih akrab kita sebut ding-dong, bahkan dengan segala kemajuan industri game sekarang ini. Dengan modal grafis 8-bit sederhana disertai satu hingga dua keping koin untuk mengoperasikannya, tak sedikit gamer yang bahkan harus rela kerap jadi korban pemalakan oleh preman-preman lokal hanya demi mencoba berbagai permainan variatif yang saat itu cukup didominasi oleh para pengembang seperti Namco, Konami, Data East, SNK, Taito, Midway, dan Capcom, sebelum konsol-konsol generasi awal mulai dari Intellivision, Atari 2600, hingga Famicom beserta keturunannya merajalela. Kini, semua itu hanya menjadi nostalgia dan bagian dari sejarah hiburan saja, namun Disney dengan cerdik memanfaatkan fenomena itu lewat film animasi mereka yang ke-52; Wreck-It Ralph, sebagai sebuah love letter penuh racikan meta atas kecintaan terhadap dunia arcade klasik yang pastinya terasa begitu personal bagi para gamer angkatan ’80-an.

Tentunya, bukan rahasia lagi bila game dan film tak lantas menghasilkan kombinasi yang harmonis. Game-game yang sukses di pasaran nyatanya jarang sekali bisa diadaptasi dengan baik oleh Hollywood. Sementara, film bagus juga bukan jaminan bakal diterjemahkan dengan sempurna ke medium permainan elektronik. Beberapa adaptasi live action seperti Super Mario Bros., Street Fighter, Final Fantasy: The Spirits Within, dan terlebih franchise sesukses Resident Evil pun, meski di satu sisi punya nilai guilty pleasure tersendiri, namun nyaris tak satupun yang mampu memuaskan dahaga penggemar game-nya. Begitupun sebaliknya, berlaku pada game tie-in yang punya reputasi tak jauh berbeda. Tetapi, mungkin lain halnya dengan film yang mengambil setting dalam dunia video game tanpa harus dikaitkan dengan adaptasi manapun, di mana justru bisa dibilang menawarkan subjek yang berbeda secara keseluruhan. Ini tentunya mengingatkan kita akan Tron yang diikuti sekuel ambisiusnya; Tron: Legacy, serta WarGames untuk premis sejenis.

Ralph (John C. Reilly) adalah tokoh antagonis di game arcade 8-bit berjudul Fix-It Felix Jr. yang permainannya sendiri dikisahkan cukup populer dari masa ke masa. Namun, bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Felix (Jack McBrayer) sebagai tokoh pahlawan, status penjahat rupanya membuat Ralph gerah karena selalu dikucilkan oleh karakter-karakter lain di game tersebut. Ralph kemudian berniat membuktikan bahwa dirinya pun bisa menjadi pahlawan dan mendapatkan medali layaknya Felix. Keputusan Ralph meninggalkan Fix-It Felix Jr. membawanya ke Hero’s Duty, sebuah permainan hibrida light-gun dan first-person shooter modern yang dihuni oleh Sergeant Tamora Jean Calhoun (Jane Lynch) nan tangguh beserta monster-monster ganas Cy-Bug musuh bebuyutannya. Kendati berhasil mendapatkan medali yang diinginkan, Ralph malah terdampar di Sugar Rush, sebuah racing game penuh warna dan gula. Di sana, Ralph bertemu dengan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), karakter glitch yang juga dimusuhi oleh para penghuni game tersebut. Persahabatan manis pun tumbuh di antara keduanya setelah Ralph sepakat melatih Vanellope menjadi seorang pembalap. Tetapi, satu hal yang Ralph tak sadari adalah ambisi Vanellope yang ternyata dapat berimbas pada sebuah konsekuensi besar. Terlebih, Ralph tanpa sengaja telah melepas seekor Cy-Bug yang mulai berkembang biak dan siap menghancurkan kelangsungan seluruh populasi dunia game.

Jadi, di mana sebenarnya letak kelebihan Wreck-It Ralph yang membuatnya begitu istimewa di mata para pencinta game? Jika dilirik dari opening scene-nya saja yang seakan mencerminkan evolusi dunia arcade selama tiga dekade belakangan ini, kita sudah tahu, bahwa film ini memang merupakan tribute untuk grafis dan polygon yang pernah kita cintai. Wreck-It Ralph seakan punya “kekuatan telepatis” yang bisa menyentuh spot lunak sisi geek dalam diri kita. Paruh pertamanya menjadi arena di mana sebagian besar mashup dunia arcade berlangsung melalui perpaduan gaya visual yang sangat eye candy dibalut warna-warni meriah. Bayangkan Konami Wai Wai World atau Super Smash Bros Brawl dengan total karakter yang jauh lebih masif tanpa harus dibatasi lisensi dari Konami maupun Nintendo. Apalagi, dengan cerdik, di samping kemunculan beratus-ratus cameo para selebriti game-nya, film ini menyisipkan berbagai macam referensi dan easter egg lintas generasi yang pastinya akan lebih mengena apabila Anda seorang penonton, atau kasus di sini, gamer yang jeli. Salah satunya yang berkesan adalah grafiti bertuliskan “Aerith lives” yang terpampang di tembok Game Central Station. Aerith (atau juga dikenal sebagai Aeris) adalah satu dari sekian tokoh ikonik dalam Final Fantasy VII. Kematiannya di tangan Sephiroth memang meninggalkan memori spesial di mata penggemar genre role-playing game (RPG) era PlayStation. Selain itu, ada juga grafiti lainnya seperti “all your base are belong to us“, “Sheng Long was here“, “no campers“, bahkan dua nama Iwatani dan Jenkins turut disebut-sebut yang pastinya bakal membuat penggemar game-game yang bersangkutan kegirangan.

Beragam inside joke dunia gaming menjadi nilai tambah tersendiri dan dijamin membuat Anda tersenyum, seperti Ralph yang kaget ketika menyadari tingkat kekerasan pada game kontemporer, maupun Felix sebagai karakter 8-bit yang terkagum-kagum melihat wujud Calhoun yang punya kualitas high definition (HD). Game lawas seperti Q*bert yang secara realitas sudah dianggap tidak populer lagi, digambarkan terlantar ibarat tuna wisma yang tak punya tempat tinggal. Bahkan pada satu adegan, tokoh King Candy sempat memasukkan kode cheat Konami paling fenomenal yang pastinya sudah sangat familiar, terutama bagi penggemar Gradius dan Contra. Jika Anda sanggup bertahan duduk manis sampai ending credits selesai bergulir, ada bonus scene di mana logo Disney mengalami crash dan muncul glitch dengan angka dan sprite secara acak. Anda tentu bakal mengenalinya sebagai kill screen yang dianggap lazim pada masa keemasan arcade. Tak ketinggalan para voice actor spesialiasi anime dan video game seperti Kyle Hebert, Reuben Langdon, Gerald C. Rivers, dan Roger Craig Smith yang turut me-reprise peran ikonik masing-masing lewat cameo singkat.

Harus diakui, semuanya bagaikan treatment sekaligus celebration yang luar biasa untuk para gamer, dan sangat jelas bahwa sang sutradara; Rich Moore, memang punya apresiasi tinggi yang benar-benar tulus dan paham seluk-beluk sejarah perkembangan video game. Moore yang berangkat dari episode-episode The Simpsons dan Futurama bersama naskah godokan Jennifer Lee dan Phil Johnston di sini memang patut diacungi jempol dalam membangun sebuah dunia fiksi yang mampu menenggelamkan penontonnya ke sisi lain di balik monitor kabinet arcade. Dengan mengangkat premis serupa seperti konsep yang pernah diusung trilogi Toy Story milik Pixar, film ini memang lebih terkesan mengarah ke inovasi dan kreatifitas sekelas studio animasi berlogo lampu meja itu ketimbang Disney yang biasanya lebih dominan ke ranah fairy tale. Uniknya lagi, ada product placement yang turut disisipkan di tengah-tengah manisnya dunia Sugar Rush, seperti lelucon tentang sepasang polisi donat bernama Duncan dan Wynnchel yang merupakan plesetan dari nama outlet donat terkenal asal Amerika Serikat; Winchell’s Donut House dan Dunkin’ Donuts. Bahkan masih ada Diet Coke, Mentos, serta cameo dari maskot roti Beard Papa yang semuanya cukup menambah pesona film ini.

Selagi acuan penuh video game dan product placement-nya memikat para gamer dan pencinta gula, jalinan kisahnya jelas akan menarik hati anak-anak dan audiens lainnya. Menggabungkan pesan moral dan kentalnya nilai-nilai persahabatan khas Disney dengan tokoh-tokoh yang loveable, film ini berhasil membangun hubungan emosional ke penontonnya lewat chemistry hangat Ralph dan Vanellope yang saling merajut ikatan erat satu sama lain mengingat keduanya sama-sama dianggap “buangan”, sambil mengajak penontonnya belajar dari makna menerima kekurangan diri sendiri tanpa harus kelewat menggurui. Pesan anti-bullying yang disampaikan juga terbilang efektif. Krisis batin yang dialami Ralph mungkin bukan hal yang baru, namun disajikan lewat narasi yang menarik. Dan, siapa yang tak gemas dengan celotehan dan penampilan Vanellope yang begitu adorable? Kendati demikian, pusat perhatian tak hanya menjadi milik Ralph dan Vanellope saja, sebab masih ada Calhoun yang sekilas mirip dengan sosok Anya Stroud dari seri Gears of War, serta kemampuan memperbaiki Felix yang hadir tak kalah menghibur. Narasi unik itupun menjadi semakin solid dengan pemberian twist yang cukup terjaga di penghujung durasinya, di samping keterlibatan komposisi score Henry Jackman bersama soundtrack pilihan dari Owl City, Rihanna, hingga AKB48 yang turut menghidupkan suasana. Sangat berharap kesuksesan yang diraih bisa menuntun Wreck-It Ralph menjadi sebuah franchise besar, mengingat masih banyaknya segala jenis permainan di Litwak’s Arcade maupun sumber referensi yang bisa dieksplor. Seperti halnya tokoh Sora dalam franchise game Kingdom Hearts yang merupakan kolaborasi Disney dan Square Enix, Ralph juga punya potensi petualangan seru ke berbagai dunia game yang akan terkesan mubazir bila tak dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Last but not least, yang pantas mendapat perhatian khusus dan kredit terbesar adalah animasi pendek bertajuk Paperman yang tampil begitu romantis dan mempesona sebagai pembuka film ini. Padahal, pendekatan yang diterapkan sangatlah sederhana; hanya mengandalkan perpaduan hand-drawn tradisional hitam putih nan minimalis dan efek digital cel-shading diiringi alunan score Christophe Beck tanpa sepatah kata pun dalam menyampaikan kisahnya. Dinahkodai oleh sineas debutan John Kahrs yang dulu sempat menangani beberapa hits Pixar selaku animator, Paperman memang layak diberi angkatan topi bersama Wreck-It Ralph yang rasanya tidak berlebihan jika didapuk sebagai film animasi terbaik rilisan tahun 2012. So, thank you, Disney. And yes, please make the sequel happen.

Posted on 26/11/2012, in Movies and tagged . Bookmark the permalink. 6 Comments.

  1. apa si bagusnye wreck it ralph? gw seh maen sf……

  2. Gw kena2 spoiler dikit gara2 baca ini review.. Tapi spoiler nya bukan yg penting2 banget & bakalan rusakin experience gw juga..

    Btw review bagus….yang hargai detail2 dari film nya. Ketahuan yg nulis ini, nonton Wreck it Ralph lebih dari sekali… 🙂

    • Thanks for the comments.

      Tenang, gue bisa bedain mana yang spoiler dan yang bukan spoiler, kok. Gue tetep ngejaga hak penonton laen buat ngenikmatin filmnya secara maksimal.

  3. Deep and detail review…secara yang nge-review juga gamer hardcore, jadinya pas banget sama film ini.

  4. ah, bagusan pulp fiction

  5. Sampe sekarang gue belon nonton, tapi gue berharap ini bisa jadi “film video game” favorit gue yg baru berhubung The Last Starfighter umurnye udah 28 taun, kesian.

Leave a comment