FIST OF THE NORTH STAR (1995)

Director(s): Tony Randel Cast: Gary Daniels, Costas Mandylor, Chris Penn, Isako Washio, Dante Basco, Nalona Herron, Malcolm McDowell Runtime: 103 minutes Star:

Pada satu masa, bumi dikisahkan telah hancur akibat perang nuklir, membuat peradaban manusia hampir musnah. Orang-orang yang masih bisa bertahan hidup kini harus berjuang demi seteguk air dan makanan. Shin (Costas Mandylor), pemimpin diktator wilayah bernama Southern Cross, menyatakan dirinya sebagai penguasa baru, menindas kaum lemah bersama pasukan Crossmen-nya. Pada saat itulah muncul Kenshiro (Gary Daniels), seorang pewaris aliran bela diri mematikan; North Star, yang memang digariskan datang sebagai penyelamat umat manusia. Masalahnya, Kenshiro sendiri belum menyadari takdirnya tersebut, karena yang ada di benaknya saat itu hanyalah misi balas dendam semata terhadap Shin, yang tak lain adalah saudara seperguruannya sendiri yang bertanggung jawab atas kematian sang guru; Ryuken (Malcolm McDowell), dan telah menculik tunangannya; Julia (Isako Washio).

Berdasarkan serial manga populer karya Buronson dan Tetsuo Hara yang aslinya berjudul Hokuto no Ken (1983-1988), di mana juga dikenal sebagai Tinju Bintang Utara lewat komik terbitan Rajawali Grafiti di Indonesia era ’90-an, inilah satu-satunya adaptasi live action yang pernah dibuat Hollywood di tangan sineas Tony Randel yang sebelumnya pernah menggarap horor Hellbound: Hellraiser II (1988). Berbeda dengan kebanyakan adaptasi-adaptasi Hollywood, plot utamanya boleh dibilang masih relatif mengikuti kisah orisinilnya sedekat mungkin dalam menerjemahkan konsepnya ke bentuk live action, termasuk bagaimana upaya setting-nya menampilkan dunia distopis yang kelam. Sah-sah saja jika Anda menganggap film ini sekilas punya kemiripan dengan Mad Max (1979), karena tokoh Mad Max Rockatanski yang diperankan Mel Gibson sendiri memang diakui Buronson sebagai salah satu inspirasi tokoh Kenshiro selain Bruce Lee.

Kendati konsepnya berupaya tetap tampil setia sesuai materi aslinya, namun modifikasi demi kepentingan adaptasi tentunya tak bisa terelakkan dengan beberapa bagian yang bisa dibilang sedikit menyimpang. Film ini tidak mengangkat keseluruhan kisah manga-nya, melainkan hanya mengadaptasi episode-episode awal, mempersempit ruang lingkupnya sebatas perseteruan antara Kenshiro dan Shin saja. Dalam materi aslinya, setelah kekalahan Shin, perjalanan Kenshiro nantinya masih panjang dan harus menghadapi berbagai rintangan lainnya, termasuk kakak tertua seperguruannya sendiri; Raoh yang ambisius sebagai sesama pewaris ilmu Hokuto Shinken dan merupakan bagian dari empat Bintang Utara bersaudara selain Toki, Jagi, dan Kenshiro sendiri. Ya, tak ada Raoh di sini, meski secara uncredited, kita bisa melihat namanya di jajaran cast. Justru Shin kebagian porsi yang jauh lebih besar sebagai antagonis. Tokoh Jagi yang berganti nama menjadi Jackal dan diperankan mendiang aktor Chris Penn (Best of the Best, Reservoir Dogs) malah tak ada kaitannya sama sekali dengan Kenshiro, selain hanya sekadar menjadi tangan kanan Shin. Setidaknya, Shin dan Jagi dibuat saling berkaitan, karena dalam manga-nya sendiri, Jagi-lah yang menghasut Shin agar menculik Julia. Bat dan Rin (di sini dieja Lynn) hadir sebagai sepasang kakak beradik, yang ketimbang bisu, Rin dibuat menjadi buta. Menariknya, bagaimana nanti Kenshiro menyembuhkan kebutaan Rin dengan menotok titik vitalnya seolah mewakili hal yang sama yang terjadi pada Airi, adik Rei, sahabat Kenshiro di versi manga. Fans juga akan menemukan penampakan beberapa cameo yang menyerupai tokoh-tokoh villain-nya seperti Zeed, Juda, dan Heart.

Sayangnya, mengingat keterbatasan bujet produksi yang terbilang minim, mau tak mau membuat kualitas dan keseluruhan eksekusi film ini kurang memadai, bila tak ingin disebut buruk. Baik tampilan dalam manga maupun anime-nya cukup kental dengan kandungan kekerasan serba over-the-top setiap Kenshiro menghabisi lawan-lawannya. Dan aslinya, Kenshiro mampu melakukan beratus-ratus pukulan maupun tendangan dengan kecepatan di luar kapasitas manusia biasa, lengkap dengan imitasi lengkingan khas Bruce Lee. Namun, hal tersebut tampaknya sulit direalisasikan tanpa bantuan efek spesial yang tentunya akan memakan biaya lebih. Beberapa efek prostetik untuk gore-nya memang disajikan, namun hasilnya tidak se-ekstrim manga-nya, bahkan di antaranya malah tampil off-screen. Rupanya pihak kreator memutuskan untuk mengambil pendekatan yang lebih realistis. Alih-alih mendominasi layar dengan potongan anggota tubuh penuh muncratan darah, penonton disuguhi aksi bela diri yang terasa lebih konvensional, di mana adegan laganya sendiri sebenarnya juga tidak terlalu spektakuler ataupun mengesankan. Hal ini tentunya cukup mengecewakan, sebagaimana adegan-adegan seperti kepala pecah atau perut robek merupakan ciri khas dalam manga-nya. Ya, Randel memang bukan Peter Jackson yang mampu memaksimalkan bujet US$ 3,000,000 dengan tampil habis-habisan lewat Braindead alias Dead Alive (1992). Bahkan untuk tema serupa, film ini jelas masih di bawah Riki-Oh: The Story of Ricky (1991) yang jauh lebih sinting soal gelaran gore.

Masalah lain muncul dari pemilihan cast yang jauh dari kata ideal dalam hal mempertahankan nama-nama tokoh yang berbau Jepang, lalu menggantinya dengan wajah-wajah kaukasia. Tapi tentu saja, di luar masalah itu serta penampilan Gary Daniels yang terasa hambar tanpa konsep pendalaman dari karakter Kenshiro yang dibawakan, nama Daniels kebetulan pada saat itu memang tengah naik daun, sehingga tak heran jika ia dipilih lantaran dianggap cukup menjual di kalangan pecinta laga kelas B. Untuk era ’90-an, di antara sederetan aktor-aktor laga sekelasnya, jawara kickboxing yang pernah didiskualifikasi lantaran dianggap kelewat agresif saat bertanding ini cukup melejit dalam ranah produk-produk direct-to-video seperti Ring of Fire (1991) dan Bloodfist IV: Die Trying (1992) bersama Don “The Dragon” Wilson, American Streetfighter (1992), hingga merembet ke debut film Hong Kong-nya; City Hunter (1993), di mana ia berkesempatan beradu jotos dengan Jackie Chan. Dan, sebagai veteran, ia pun sempat diberi kehormatan muncul dalam The Expendables tahun 2010 lalu.

Fist of the North Star pada akhirnya memang tak mampu memuaskan dahaga para fans sejati manga dan anime-nya, tetapi setidaknya, film ini rasanya masih bisa dinikmati oleh para penikmat film-film kelas B bertemakan dystopian yang dicampur elemen martial arts tanpa harus mengenal materi aslinya. Di luar Jepang yang kebetulan mendapat kehormatan sendiri tayang di bioskop-bioskop sana, aslinya, film ini hanya dirilis untuk format video saja, yang kemudian membuatnya menyandang status cult. Mungkin sudah saatnya untuk di-remake?

Posted on 14/01/2013, in Movies and tagged . Bookmark the permalink. 1 Comment.

  1. Oh yg jadi Ken di City Hunter…
    gw baru inget Gary Daniels yg mana… 😀

    btw great review

Leave a comment